Lucu juga waktu aku tau ternyata kita bisa mengetahui perbedaan berbagai macam paham-paham pemikiran... dari Sapi!
Sosialisme : kamu punya dua ekor sapi. Negara akan mengambil seekor, dan memeberikan kepada yang lain satu ekor lagi.
Komunisme : kamu mempunyai dua ekor sapi. Negara akan mengambil keduanya, dan memberikan kamu susu.
Fasis : Kamu mempunyai dua ekor sapi. Negara akan mengambil keduanya, dan menjual susu kepadamu
Nazi : Kamu mempunyai dua ekor sapi. Negara akan mengambil keduanya, dan menembakmu ditempat.
Kapitalisme: Kamu memiliki dua ekor sapi. Kamu menjual satu, dan membeli banteng.
.
.
Selasa, 25 November 2008
Sapi
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 19.00 0 komentar
Wawancara Pekerjaan
Waktu membaca tulisannya, ga tau apa yang dipikirkan penulisnya. Apakah bagi dia ekonom adalah orang yang mampu membuat segala sesuatu terlihat seolah-olah adalah "benar"?
kurang lebih begini ceritanya:
Suatu ketika, ada tiga orang sedang menunggu untuk diwawancara suatu pekerjaan. Orang pertama, yang merupakan ahli matematika, dipanggil.
Si pewawancara bertanya "2 + 2 sama dengan berapa?" Si ahli matematika dengan yakin menjawab " 4 !!" "Anda yakin?" balas si pewawancara. Dengan sedikit bingung, si ahli matematika mengangguk pelan " ya, saya yakin."
Si pewawancara memanggil orang kedua, yang merupakan seorang akuntan, dan menanyakan pertanyaan yang sama. Si akuntan diam sejenak, berpikir, lalu menjawab "Sekitar 4. Mungkin ada penyusutan sedikit. Tapi, ya sekitar 4."
Si pewawancara lalu memanggil orang terakhir, seorang ekonom, dan masih menanyakan pertanyaan yang sama "2 + 2 sama dengan berapa?" Dengan sigap, si ekonom lalu berdiri, menutup dan mengunci pintu, menutup tirai jendela, lalu kembali duduk sambil mendekatkan diri kepada si pewawancara.
Sambil berbisik si ekonom menjawab "bapak mau hasilnya sama dengan berapa?"
(hint: humor ini mungkin dimaksudkan untuk mengejek ekonom yang pandai dan terbiasa memanipulasi data. Sehingga dengan menggunakan berbagai macam model, asumsi-asumsi, dan teknik analisis, bahkan bisa dibuktikan bahwa 2 + 2 sama dengan 0....)
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.36 0 komentar
Sabtu, 22 November 2008
Lampu Bohlam yang Putus
apa yang dikatakan seorang ekonom kapitalis ketika diminta tolong untuk mengganti lampu bohlam yang putus?
"Tenang saja, pasti akan ada tangan tak terlihat yang akan memperbaikinya...."
.
.
.
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.30 0 komentar
Selasa, 11 November 2008
Apakah Pasar Kompetitif itu? Arti dari Kompetisi
• Terdapat banyak pembeli dan penjual di dalamnya.
• Barang-barang yang diperdagangkan oleh banyak penjual cenderung mirip.
Sebagai hasil dari kondisi-kondisi tersebut, maka suatu tindakan dari seorang pembeli atau penjual di pasar tidak berdampak banyak terhadap harga pasar. Setiap pembeli dan penjual menerima harga pasar sebagaimana adanya.
Sebagai contoh yang paling mudah adalah pasar barang-barang pertanian. Misalkan cabe. Tidak ada pembeli atau penjual yang dapat memengaruhi harga cabe, karena masing-masing pembeli hanya membeli jumlah yang kecil dibandingkan dengan jumlah yang dijual di pasar, sedangkan setiap penjual hanya memiliki kendali yang sangat terbatas atas harga pasar karena banyak penjual lain yang juga menjual cabe. Karena setiap penjual dapat menjual seluruh cabenya pada harga pasar, ia tidak memiliki alasan untuk menjualnya lebih murah, dan jika ia menjual lebih mahal, maka pembelinya akan pindah ke penjual yang lain. Pembeli dan penjual pada pasar kompetitif harus menerima harga yang ditentukan pasar, dan oleh karena itu, disebut penerima harga (price takers).
Sebagai tambahan dari dua kondisi tadi, ada kondisi ketiga yang terkadang juga menjadi ciri pasar kompetitif sempurna:
• Perusahaan dapat dengan bebas masuk ke dalam atau keluar dari pasar tersebut.
Kebanyakan analisis perusahaan kompetitif tidak bergantung pada asumsi yang ketiga ini, karena kondisi ketiga ini bukan syarat perlu bagi perusahaan untuk menjadi penerima harga. Tetapi masuk dan keluarnya suatu perusahan sering kali menjadi kekuatan penting yang membentuk hasil jangka panjang dalam pasar kompetitif.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.46 1 komentar
Senin, 10 November 2008
KLIK RUPIAH??
Apa itu KLIK RUPIAH?
Klik Rupiah adalah salah satu program PTC (Paid To Click), yang artinya kita dibayar untuk mengklik iklan yang tersedia di situs Klik Rupiah.
Apakah harus punya blog atau website?
Nggak juga. Syaratnya harus punya rekening bank di BCA atau Mandiri. Bank lain bisa tapi ada biaya tambahan. Blog bisa kita gunakan untuk mempromosikan ke teman-teman, saudara atau orang lain mengenai KLIK RUPIAH dan jika ada yang ikut ke KLIK RUPIAH melalui rekomendasi kita, kita akan mendapatkan tambahan rupiah. Istilah seseorang ikut KLIK RUPIAH atas rekomendasi kita adalah refferal. Sedangkan kita yang merekomendasikan disebut referrer.
Bagaimana cara mendapatkan uangnya?
Daftar dulu menjadi member. Klik link berikut: KLIK RUPIAH dan langsung akan masuk ke situsnya. Lalu daftar dan ikuti prosesnya sampai selesai. Mudah
Klik yang ada tulisan KLIK IKLAN. Klik iklan pertama, tunggu sampai timer/waktu muncul, lalu tunggu 31 detik sampai ada tercantum tulisan DONE dan ada TANDA CENTANG. Baru tutup dan klik iklan kedua.
Bisakah saya mengklik ratusan kali pada hari itu agar mendapatkan uang banyak?
Tidak bisa. Semua PTC sudah diprogram otomatis. Jadi, hanya bisa melakukan klik SATU kali dalam SATU hari. Jika hari ini kita mengklik jam 1, hari berikutnya kita baru bisa mengklik iklan yang sama setelah jam 1 (lewat beberapa menit). Pokoknya hitungannya harus satu hari.
Gimana? simple banget kan? Tinggal klik dan rupiah pun mengalir. Daftar aja sebagai member melalui link ku di sini : KLIK RUPIAH.
Label: Opportunity: Get Money
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.25 1 komentar
Teori Permintaan 3
Ketika menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisa permintaan konsumen terhadap suatu barang, maka yang dilakukan adalah menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan barang itu sendiri (Tjahjaprijadi, 2003). Jika pada bagian sebelumnya menjelaskan pengaruh biaya kesempatan suatu barang, maka penjelasan selanjutnya adalah mengenai pengaruh faktor-faktor lain selain harga dari barang itu sendiri yaitu harga barang lain, pendapatan, selera, dan ekspektasi. Jika pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa ketika menggambar kurva permintaan, yang dilihat adalah pengaruh bermacam-macam harga suatu barang dengan mengasumsikan faktor-faktor selain harga barang tersebut tetap. Maka jika faktor-faktor selain harga barang itu sendiri yang berubah pada berbagai tingkatan harga, kurva permintaan akan mengalami pergeseran.
>>>Harga Barang Lainnya
Hubungan antara suatu barang dengan jenis barang lainnya bisa dibedakan menjadi dua kelompok: Barang Substitusi atau Barang Pengganti, suatu barang disebut barang substitusi terhadap barang lainnya apabila ia dapat menggantikan fungsi dari barang lain tersebut; Barang Komplementer atau Barang Pelengkap, suatu barang disebut barang komplementer terhadap barang lainnya apabila barang tersebut selalu digunakan bersama-sama dengan barang lainnya. Sebagai tambahan, ada pula istilah barang netral, dimana dua jenis barang yang tidak memiliki kaitan yang kuat maka perubahan atas permintaan barang tersebut tidak akan mempengaruhi barang lainnya.
>>>Pendapatan Konsumen
Perubahan dalam pendapatan akan menimbulkan perubahan terhadap permintaan berbagai jenis barang. Perubahan pendapatan mempengaruhi bagaimana budget-constraint seseorang, menyebabkan orang tersebut harus merubah permintaannya terhadap barang dan jasa (Dillingham, 1992). Berdasarkan ciri-ciri perubahan permintaan yang akan terjadi apabila pendapatan berubah, maka berbagai jenis barang yang ada bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Barang Normal, yaitu barang yang akan mengalami kenaikkan permintaan jika pendapatan meningkat; Barang Inferior, yaitu barang yang permintaannya akan naik justru karena pendapatannya berkurang. Atau sebaliknya, jika pendapatan bertambah, maka permintaannya akan turun.
>>>Selera Masyarakat
Selera mempengaruhi konsumsi seseorang dalam hal kerelaan orang tersebut untuk membayar (willingness to pay) barang tertentu (Dillingham, 1992). Semakin banyak orang menyukai barang tertentu (mengecualikan faktor harga) akan meningkatkan jumlah yang diminta dari barang tersebut dan menurunkan jumlah yang diminta dari barang lainnya.
>>>Ekspektasi Di Masa yang Akan Datang
Perubahan-perubahan yang diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang dapat mempengaruhi permintaan saat ini. Perkiraan bahwa harga akan bertambah tinggi dimasa yang akan datang, dapat mendorong jumlah pembelian yang lebih banyak pada saat ini. Demikian juga sebaliknya bila perkiraan harga-harga akan turun, maka hal tersebut akan mendorong penundaan pembeliaan sehingga mengurangi jumlah pembeliaan saat ini. Faktor lain seperti ketidakpastian kondisi ekonomi-sosial-politik di masa depan juga bisa mempengaruhi permintaan saat ini.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.15 0 komentar
Teori Permintaan 2
2.2 Kemiringan Negatif dari Kurva Permintaan
Hubungan negatif ini muncul karena seseorang yang mengkonsumsi suatu barang akan mengalami yang namanya declining marginal benefit atau penurunan keuntungan marjinal (Dillingham, 1992). Keuntungan marjinal bisa diartikan sebagai tambahan kepuasan yang didapat seseorang dari suatu barang ketika orang tersebut menambah jumlah barang yang dikonsumsi sebanyak satu satuan. Semakin banyak barang yang dikonsumsi, semakin turun tambahan kepuasan yang didapat. Karena kepuasan dari konsumsi barang berikutnya lebih rendah, maka harga dari barang diturunkan untuk mendorong orang tersebut agar tetap membeli. Oleh karenanya, hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga dari barang tersebut adalah negatif. Dari penjelasan di atas juga bisa diketahui bahwa permintaan seseorang terhadap suatu barang adalah sama dengan keuntungan marjinal orang tersebut terhadap barang yang sama. Dan jika digambar, maka bentuk dari kurva permintaan adalah garis dengan kemiringan negatif.
Didalam menganalisis permintaan suatu barang, perlu dibedakan antara istilah “permintaan” dan “jumlah barang yang diminta” (Tjahjaprijadi, 2003). Permintaan menggambarkan keseluruhan hubungan antara harga dengan jumlah barang yang diminta, sedangkan jumlah barang yang diminta adalah banyaknya jumlah barang pada satu tingkat harga tertentu.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.13 0 komentar
Sabtu, 08 November 2008
Teori Permintaan
2.1 Permasalahan Anggaran Terbatas
Bagaimana konsumen memilih satu barang dan bukannya barang lainnya, selain dari manfaatnya, juga dari biaya kesempatan (opportunity cost) masing-masing barang dan jasa. Biaya kesempatan adalah keuntungan yang hilang karena seseorang tidak memilih pilihan terbaik kedua. Atau, Pyndick mengartikan biaya kesempatan sebagai “… opportunities that are forgone when a firm’s resources are not put to their highest-value use.” Misalkan seseorang dengan uang yang dimilikinya memiliki dua pilihan, apakah membeli langsung apel di pasar (pilihan 1) atau membeli bibit pohon apel dan alat-alat kebutuhan berkebun (pilihan 2). Jika memilih membeli langsung di pasar, maka biaya kesempatannya adalah keuntungan dari hasil panen berkebun apel. Konsumen tidak bisa dengan mudah membeli barang atau jasa yang menurutnya paling memuaskan, karena berbeda jenis barang berbeda pula biaya kesempatannya (Dillingham, 1992)
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 19.53 0 komentar
Selasa, 29 April 2008
"Mereka Panggil Saya Saudara Friedman!"
Profesor-profesor Chicago tidak suka jika mahasiswa menyebut diri mereka dengan "Doktor". Karena setiap orang mempunyai gelar tinggi maka panggilan itu dirasa terlalu mewah. Anggota fakultas punva tradisi panjang untuk saling memanggil dengan "Mister" (atau bapak atau saudara). "Saudara Friedman" lebih disukai ketimbang "Profesor Friedman". Dan Pak Friedman ini (seperti ekonom Chicago lainnya) tidak pernah mempublikasikan buku dengan mencantumkan nama "Dr. Milton Friedman Ph.D" di sampul bukunya. Pencantuman gelar seperti itu dianggap kaku.
Sumber bacaan: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: The Lives and Ideas of the Great Thingkers”, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso.
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 23.31 0 komentar
Halal Ga Ya? Boleh Ga Ya?
Kalo dulu browsing internet cuma sekedar liat-liat Email, bahan buat tugas, ama download manga, maka sekarang ada insentif lain. Apa lagi kalo bukan: UANG!!! Ini baru saya tahu kurang dari satu bulan lalu, ternyata bisa ya nyari UANG TAMBAHAN dari browsing di internet.
Bohong kalau ga tertarik jika diiming-imingi mendapat uang dengan cara yang mudah. Saya salah satunya. Pastinya ga sembarangan. Kalau cuma sekedar penawaran ga jelas, saya juga males ngeladenin-nya. Tapi setelah mencari referensi dan artikel terkait yang menjelaskan beberapa situs penghasil uang yang ”terpercaya”, ternyata luluh juga hati ini. Jadilah saya ikutan. Relatif MUDAH, dan yang pasti GRATIS. Jadi ga ada risiko kehilangan uang.
Tetapi tetep aja suka muncul pertanyaan: ”beneran ga sih kita bakal dibayar?” Mencari di beberapa blog orang, diantaranya memang menunjukkan bukti bahwa mereka ikut, dan mereka dibayar. Tetapi tetep aja suka muncul keraguan.
Pertanyaan lainnya, ”Boleh ga sih ama agama (Islam)? Halal ga?” Itu pertanyaan terpenting.
Seperti yang diketahui, kebanyakan sistem MLM (kalau ga mau disebut semua) dilarang oleh Islam. Ga hanya sistem MLM aja sih. Perdagangan yang memiliki sifat yang mendekati perjudian pastilah dilarang. Ketidakjelasan apa yang dijual dan keuntungan didapat bukan karena menjual produk juga termasuk dilarang. Apa lagi memperoleh uang tanpa bekerja dan bermalas-malasan, itu lebih tidak disukai lagi.
Trus gimana ya dengan situs-situs penghasil uang yang dimaksud? Di antara situs-situs tersebut, disebutkan bahwa mereka tidak menggunakan sistem MLM (itu menurut mereka), produk yang dijual jelas (itu menurut mereka), dan insentif (kompensasi) diberikan karena kita menyebarkan informasi mengenai mereka (sekali lagi, itu menurut mereka). Apakah benar ato tidak? saya sendiri belum bisa jawab... Kalau ada pembaca yang mau berpendapat, silakan berpendapat. Itung-itung bagi-bagi ilmu-ilmu... Sekalian juga jadi petunjuk buat saya memutuskan apakah akan terus ikutan atau keluar dari kegiatan ini.
Dibagian lain dari blog ini, nantinya saya coba menjelaskan beberapa situs penghasil uang. Karena dalam menjual suatu barang, kita harus memegang prinsip tidak ada informasi yang ditutupi agar nantinya pembeli tidak merasa tertipu, maka akan saya coba jelaskan secara apa adanya, kekurangan dan kelebihannya. Kebanyakan berdasarkan pengalaman (yang masih seumur jagung) saya.
Label: Opini
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 23.22 0 komentar
The Five Competitive Forces That Shape Strategy
The Idea in Brief
You know that to sustain long-term profitability you must respond strategically to competition. And you naturally keep tabs on your established rivals. But as you scan the competitive arena, are you also looking beyond your direct competitors? As Porter explains in this update of his revolutionary 1979 HBR article, four additional competitive forces can hurt your prospective profits:
- Savvy customers can force down prices by playing you and your rivals against one another.
- Powerful suppliers may constrain your profits if they charge higher prices.
- Aspiring entrants, armed with new capacity and hungry for market share, can ratchet up the investment required for you to stay in the game.
- Substitute offerings can lure customers away.
Consider commercial aviation: It's one of the least profitable industries because all five forces are strong. Established rivals compete intensely on price. Customers are fickle, searching for the best deal regardless of carrier. Suppliers--plane and engine manufacturers, along with unionized labor forces--bargain away the lion's share of airlines' profits. New players enter the industry in a constant stream. And substitutes are readily available--such as train or car travel.
By analyzing all five competitive forces, you gain a complete picture of what's influencing profitability in your industry. You identify game-changing trends early, so you can swiftly exploit them. And you spot ways to work around constraints on profitability--or even reshape the forces in your favor.
The Idea in Practice
By understanding how the five competitive forces influence profitability in your industry, you can develop a strategy for enhancing your company's long-term profits. Porter suggests the following:
Position Your Company Where the Forces Are Weakest
In the heavy-truck industry, many buyers operate large fleets and are highly motivated to drive down truck prices. Trucks are built to regulated standards and offer similar features, so price competition is stiff; unions exercise considerable supplier power; and buyers can use substitutes such as cargo delivery by rail. To create and sustain long-term profitability within this industry, heavy-truck maker Paccar chose to focus on one customer group where competitive forces are weakest: individual drivers who own their trucks and contract directly with suppliers. These operators have limited clout as buyers and are less price sensitive because of their emotional ties to and economic dependence on their own trucks. For these customers, Paccar has developed such features as luxurious sleeper cabins, plush leather seats, and sleek exterior styling. Buyers can select from thousands of options to put their personal signature on these built-to-order trucks. Customers pay Paccar a 10% premium, and the company has been profitable for 68 straight years and earned a long-run return on equity above 20%.
Exploit Changes in the Forces
With the advent of the Internet and digital distribution of music, unauthorized downloading created an illegal but potent substitute for record companies' services. The record companies tried to develop technical platforms for digital distribution themselves, but major labels didn't want to sell their music through a platform owned by a rival. Into this vacuum stepped Apple, with its iTunes music store supporting its iPod music player. The birth of this powerful new gatekeeper has whittled down the number of major labels from six in 1997 to four today.
Reshape the Forces in Your Favor
Use tactics designed specifically to reduce the share of profits leaking to other players. For example:
- To neutralize supplier power, standardize specifications for parts so your company can switch more easily among vendors.
- To counter customer power, expand your services so it's harder for customers to leave you for a rival.
- To temper price wars initiated by established rivals, invest more heavily in products that differ significantly from competitors' offerings.
- To scare off new entrants, elevate the fixed costs of competing; for instance, by escalating your R&D expenditures.
- To limit the threat of substitutes, offer better value through wider product accessibility. Soft-drink producers did this by introducing vending machines and convenience store channels, which dramatically improved the availability of soft drinks relative to other beverages.
Copyright 2008 Harvard Business School Publishing Corporation. All rights reserved.
About the Authors
Michael E. Porter is the Bishop William Lawrence University Professor at Harvard University, based at Harvard Business School in Boston. He is a six-time McKinsey Award winner, including for his most recent HBR article, "Strategy and Society," coauthored with Mark R. Kramer (December 2006).
ParticipateShare your ideas and expertise on this topic.
Label: Management
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 22.47 0 komentar
Sabtu, 26 April 2008
Dari Mana Darwin Mendapatkan Teori Evolusinya? dari Malthus!
Pengaruh esai populasi Malthus sangat luas, dan bukan hanya memengaruhi ilmuwan sosial. Pendiri teori evolusi modern, Charles Darwin, berutang budi kepada Malthus dalam menyusun teori seleksi alam dan survival of the fittest. Dalam Autobiography, Charles Darwin mengekspresikan utang budinya ini:
Pada Oktober 1838, lima belas bulan sesudah aku mulai melakukan penelitian sistematik, untuk mengisi waktu aku sempatkan diri membaca buku Malthus yang berisi pandangannya tentang populasi. Saat itu aku sedang bersiap mengajukan tesis perjuangan untuk hidup yang terjadi di mana-mana, yang didasarkan dari pengamatan panjang atas kebiasan hewan dan tumbuhan. Yang mengejutkan saya adalah bahwa dalam keadaan semacam ini variasi yang mampu menyesuaikan diri akan bertahan, sedangkan yang tidak akan lenyap. Hasilnya adalah terbentuknya spesies baru (Darwin).
Yang mengejutkan, Alfred Russell Wallace, yang secara terpisah menemukan teori evolusi organik, juga memuji buku Malthus. Dalam autobiografinya, My Life, Wallace membaca karya Malthus pada yang hampir sama dengan saat Darwin mendapat inspirasi: "Mungkin buku terpenting yang aku baca adalah Essay on Population karya Malthus.... Ini adalah buku pertama yang pernah kubaca yang membahas persoalan biologi filosofis, dan prinsip-prinsip utamanya selalu kuingat selamanya. Dua puluh tahun kemudian prinsip ini memberiku petunjuk yang telah lama kucari untuk menemukan agen efektif dalam evolusi spesies organik" (Wallace).
Esai Malthus mengimplikasikan sebuah proses evolusioner dalam perkembangan manusia. Di dalam Bab 18, dia mengemukakan ide bahwa Tuhan sang Pencipta membutuhkan "proses tertentu .. dan waktu tertentu" untuk menciptakan manusia (Malthus).
Sumber Bacaan: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: The Lives and Ideas of the Great Thingkers”, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso.
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 23.05 0 komentar
Kamis, 10 April 2008
Apa yang Dimaksud Keynes dengan “Dalam Jangka Panjang Kita Semua Sudah Mati?”
“Dalam jangka panjang kita semua sudah mati.” Itu merupakan ucapan terkenal yang terlontar dari mulut Keynes.
Ekonom-ekonom berpendapat bahwa ucapannya itu merupakan bentuk penghinaan bagi pandangan klasik yang menganggap bahwa “ekonom harus menjelaskan efek jangka panjang, dan bukan hanya jangka pendek, dari kebijakan-kebijakan pemerintah.”
Saat pertama kali Keynes membuat pernyataan terkenal di atas, dia menggunakannya untuk mengejek monetarisme Irving Fisher, yang menyatakan bahwa inflasi moneter tidak akan berakibat buruk dalam jangka panjang tetapi hanya akan menaikkan harga. Keynes mengecam,
Dikesempatan lain Keynes berkata, “Tugas kita adalah memperpanjang perdamaian, jam demi jam, hari demi hari, selama kita bisa... Saya telah mengatakan dalam konteks lain bahwa ini “jangka panjang” tidak terlalu penting sebab dalam jangka panjang kita semua sudah mati. Tetapi saya juga telah mengatakan bahwa jangka pendek lebih berguna sebab dalam jangka pendek kita masih hidup. Kehidupan dan sejarah tersusun dari jangka pendek-jangka pendek. Jika kita berdamai dalam jangka pendek, itu bagus. Tetapi hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menghilangkan bencana.”
Dikutip dari: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: The Lives and Ideas of the Great Thingkers."
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 19.05 0 komentar
Alfred Marshall
Label: Kutipan
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.46 0 komentar
Paul Samuelson
Label: Kutipan
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.43 0 komentar
Ekonomi dalam Satu Pelajaran
Bagi Joseph Schumpeter, seorang Frederic Bastiat adalah jurnalis ekonomi paling brilian yang pernah hidup. Bastiat adalah pendukung kuat kebijakan perdagangan bebas dan laissez faire, penentang sosialisme yang gigih, dan seorang ahli debat dan negarawan.
Salah satu kisah kiasan Bastiat yang terkenal adalah The Broken Window yang dimuat dalam sebuah pamflet yang berjudul What is Seen and What is Not Seen yang ditulis pada 1850. Isinya tentang kisah Jacques Bonhomme, seorang warga yang gigih. Putranya yang kurang ajar memecahkan sebuah kaca jendela. Pada mulanya orang-orang yang menyaksikannya merasa bersimpati kepada Jacques yang harus membayar enam franc untuk mengganti kaca jendela itu.
Tetapi kemudian mereka mulai berpikir bahwa barangkali kaca jendela yang pecah adalah baik untuk bisnis. Bagaimanapun juga, "apa jadinya nasib pembuat kaca jendela jika tak seorang pun yang memecahkan kaca jendela?" Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah memecahkan jendela itu "akan melancarkan sirkulasi uang, dan akibatnya mendorong industri secara umum." Bastiat menulis, "Itulah yang terlihat”. Pengrusakan itu mendorong peningkatan bisnis kaca jendela.
Tetapi kemudian Bastiat bertanya, "Apa yang tak terlihat?" Dalam analisis tiga tingkat ini Bastiat menunjukkan bahwa Jacques Bonhomme tak lagi punya enam franc untuk membeli sepatu sendiri atau membeli buku untuk perpustakaannya. Bastiat menyimpulkan: "Mari kita pertimbangkan industri secara umum. Kaca jendela baru saja pecah, industri gelas mendapat peningkatan senilai enam franc; itulah yang kelihatan. Jika jendela tidak pecah, industri sepatu (atau industri lainnya) akan mendapatkan peningkatan senilai enam franc; itulah yang tidak kelihatan.
Pelajaran dari cerita ini adalah: "Pengrusakan tidaklah menguntungkan."
Secara umum Bastiat membuat generalisasi tentang peran ekonom dalam mengungkapkan kesalahan: "Hanya ada satu perbedaan antara seorang ekonom yang buruk dan ekonom yang baik: ekonom yang buruk hanya membatasi pada efek yang terlihat; ekonom yang baik mempertimbangkan baik itu efek yang terlihat maupun efek yang harus diperkirakan" (Bastiat).
Sumber Bacaan: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: The Lives and Ideas of the Great Thingkers."
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.34 0 komentar
Cara Menghentikan Inflasi Menurut Mises
Ludwig von Mises (1881-1973) merupakan salah satu ekonom Austria terkemuka di zamannya. Pada tahun 1912 dia menyelesaikan karya rintisannya yang berjudul The Theory of Money and Credit. Karya ini menyajikan model canggih yang menentang teori kuantitas uang Fisher. Money and Credit memberikan mata rantai yang hilang antara ekonomi mikro dan makro.
Ada cerita menarik mengenai Mises terkait dengan inflasi.
Banyak negara-negara bekas Perang Dunia 1 harus menanggung beban berlebihan sebagai akibat Perjanjian Damai. Austria yang merupakan salah satu diantaranya, mengalami hiperinflasi. Ketika hiperinflasi mencapai puncaknya, komisi dari Liga Bangsa-Bangsa di kirim ke Vienna. Bersama dengan pejabat pemerintah Austria, mereka menemui Mises untuk meminta nasihatnya tentang bagaimana cara mengakhiri inflasi. Mises menjawab dengan kasar, ”Temui saya jam 12 malam di gedung ini dan saya akan memberitahukan caranya.” meskipun tersinggung, para pejabat tetap menuruti permintaannya. Pada tengah malam ditempat yang dijanjikan, mereka kembali bertanya, ”Profesor Mises, bagaimana cara kita bisa menghentikan inflsi?” Mises menjawab, Kalian dengar suara berisik itu? MATIKAN!!”
Ternyata Gedung tempat pertemuan itu adalah kantor percetakkan negara, dan suara berisik itu berasal dari suara mesin yang mencetak uang kertas. Pemerintah Austria akhirnya menghentikan pencetakkan uang kertas dan inflasi pun berakhir.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 18.27 1 komentar
Sabtu, 05 April 2008
Irving Fisher Meninggal sebagai Orang yang Bangkrut.
Terkenal sebagai ekonom jajaran atas dengan teori kuantitas uang-nya, menjadi jutawan dengan menciptakan Rolodex (sistem kartu indeks), dan sempat dijuluki ”oracle of Wall Street” (si bijak dari Wall Street) karena status jutawannya, ternyata Irving Fisher meninggal sebagai orang bangkrut. Kesalahannya karena tidak bisa memprediksi datangnya kejatuhan finansial di sepanjang tahun 1929-1932, menjadikan semua hartanya yang di tanam di Wall Street jatuh nilainya. Meskipun di tahun-tahun berikutnya perekonomian mulai pulih, tetapi tidak dengan keuangan Fisher. Dia harus menanggung banyak utang, aset yang merosot nilainya, dan pertentangan dengan pihak pajak.
Dengan berbagai permasalahan yang datang, akhirnya pada tahun 1947 dia kalah melawan kanker yang dideritanya dan meninggal. Penulis otobiografinya menyebutkan, ”Usahanya membuat dirinya menjadi pembaru yang paling terkenal dan paling gagal. Kesalahannya dalam menilai pasar membuat dia harus kehilangan kekayaannya, usahanya, dan rumahnya... Dia gagal sebagai pengusaha, investor, penasihat kebijakan, politisi, penerbit, eugenicist, pejuang kesehatan, dan gagal sebagai dewa penolong.”
Sumber bacaan: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: Te Lives and Ideas of the Great Thingkers”, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso.
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 02.10 0 komentar
Model Moneter Fisher: Ada yang Salah?
Teori Kuantitas Uang
Kontribusi Irving Fisher paling terkenal adalah buku The Purchasing Power of Money (1911). Ini adalah buku yang membuat Fisher menjadi ekonomi jajaran atas. Dalam buku ini, Fisher memperkenalkan rumus matematika untuk model moneternya, yakni teori kuantitas uang. Tema utama dari teori kuantitas uang adalah inflasi terutama disebabkan oleh ekspansi uang dan kredit, dan ada hubungan langsung antara perubahan dalam tingkat harga dan perubahan dalam persedian uang. Jika persediaan uang dinaikkan, harga juga akan naik.
Untuk memperjelas teorinya, Fisher melangkah lebih jauh. Dia mengembangkan persamaan matematika untuk merepresentasikan teorinya. Dia mengawali dengan “persamaan pertukaran” antara uang dan barang:
M x V = P x Q, dimana:
M (money) = kuantitas uang yang beredar
V (velocity) = kecepatan uang, atau perputaran uang tahunan
P (price) = tingkat harga umum
Q (quantity output) = Quantitas barang yang dihasilkan dalam setahun.
Sisi kanan (M x V) merupakan gambaran tranfer uang, sedangkan sisi kiri (P x Q) menggambarkan tranfer barang. Nilai barang harus sama dengan jumlah niali uang yang berpindah dalam setiap pertukaran. Atau, jumlah total uang yang beredar yang dikalikan dengan rata-rata berapa kali uang berpindah tangan dalam setahun harus sama dengan jumlah harga barang dan jasa yang diproduksi dan dijual sepanjang tahun itu.
Persamaan pertukaran ini bukan teori, tetapi merupakan suatu kebenaran tautologis.
Tetapi Fisher mengubah persamaan pertukaran ini menjadi teori. Dia berasumsi bahwa V dan Q relatif stabil dan karena itu perubahan dalam tingkat harga secara langsung berkaitan dengan perubahan dalam persediaan uang.
Apa yang Salah dengan Pemikiran Fisher?
Apa yang menyebabkan Fisher dari seorang jutawan menjadi orang yang bangkrut ketika dia meninggal adalah karena kesalahan dalam memprediksi datangnya kejatuhan finansial terbesar di abad 21 di Amerika Serikat. Kesalahan ini muncul karena apa yang ada dalam visi moneternya tidak lengkap, yaitu pendekatan ”makronya” terlalu berlebihan terhadap teori moneter. Dia tidak mau melihat adanya dinamika di dalam ekonomi moneter. Jika membahas uang, Fisher mengabaikan teori perilaku individu dan mikroekonomi. Sebaliknya, dia memandang uang melalui kacamata agregat luas. Dia melihat pada kecenderungan ekonomi secara umum, sperti seperti seberapa besar uang dan kredit bertambah di dalam ekonomi, tetapi dia tidak melihat bagaimana cara individu dan institusi mendapatkan uang. Dia memonitor apa yang terjadi pada tingkat harga umum dan membuat indeks harga, tetapi dia mengabaikan bagaimana harga individual berperandalam penciptaan harga di dalam perekonomian. Dia mengukur output industri negara, tetapi tidak melihat pada naik turunnya pasar dan industri. Intinya, Fisher cenderung untuk melihat secara umum dan enggan melihat secra terpisah-pisah.
Sumber bacaan: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: Te Lives and Ideas of the Great Thingkers”, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 02.06 1 komentar
Malthus dan Kebijakan Satu-Anak di Cina
Tidak ada negara yang mengadopsi kebijakan kontrol populasi yang lebih ketat ketimbang Cina komunis. Meskipun pemikiran Malthus bertentangan dengan doktrin Marxis, tetapi permasalahan jumlah penduduk Cina yang selalu bertambah setiap tahunnya sampai tahun 1970-an menyebabkan pemerintahan komunis China melakukan dua perubahan dalam upaya menyeimbangkan sumber daya dan pertambahan jumlah penduduk Cina. Mereka membebaskan perekonomian dan menerapkan aturan satu anak.
Ekonomi baru yang bebas berhasil menstimulasi pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan satu anak berhasil mengurangi pertambahan penduduk. Dewasa ini penduduk Cina lebih dari satu miliar, tetapi pertambahan penduduknya menurun menjadi satu persen per tahun. Meskipun demikian, Cina harus membayar mahal atas campur tangannya dalam kehidupan pribadi warga negaranya.
- Tingkat aborsi meroket di Cina, terutama untuk janin perempuan (penduduk Cina lebih suka punya anak laki.
- Cina menghadapi persoalan penuaan yang serius, karena semakin banyak penduduk usia lanjut dan relatif sedikitnya usia muda yang bekerja untuk menopang mereka.
- Cina mengalami kesenjangan jumlah antara pria dan wanita. Pria Cina lebih sulit mencari pasangan dan banyak yang mengambil perempuan atau budak dari negeri lain.
- Keluarga Cina tradisional yang besar pelan-pelan mulai terpecah-peceh.
Di bawah ini adalah makna dari kebijakan satu anak bagi penduduk Cina:
Tidak ada saudara pria
Tidak ada saudara wanita
Tidak ada sepupu
Tidak ada keponakan
Tidak ada paman
Tidak ada bibi
Tidakada kemenakan
Serta empat kakek-nenek dan dua orang tua mengasuh satu anak!!
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 02.02 1 komentar
Jumat, 04 April 2008
J.M. Keynes
Label: Kutipan
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 07.21 0 komentar
Sun Tzu 2
padahal tidak.
Jenderal yang memenangkan setiap pertempuran
bukanlah jagoan sejati.
Membuat musuh kalah tanpa bertempur
itulah kuncinya.
Lebih baiklah menjaga keutuhan negeri
daripada menghancurkannya.
Mengalahkan lawan tanpa bertempur
Itulah puncak kemahiran.
Label: Kutipan
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 07.19 0 komentar
Sun Tzu
Gunakanlah amarah untuk membuat mereka murka,
rendah hatilah agar mereka sombong.
Letihkan mereka dengan jalan berputar-putar,
bikin mereka bertengkar sendiri.
Serang mereka di saat mereka tidak menduganya,
di saat mereka lengah.
Haluslah agar kau tidak terlihat.
Misteriuslah agar kau tak teraba.
Maka kau akan kuasai nasib lawanmu.
Label: Kutipan
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 07.16 0 komentar
Seni Perang Sun Tzu
Setahu saya Sun Tzu lebih dikenal sebagai seorang ahli strategi perang. Tapi banyak pemikirannya dipakai sebagai dasar berpijak bagi orang-orang, bukan hanya yang bergerak pada bidang militer, bahkan bisa dipakai para CEO dalam menjalankan bisnisnya. Sikap lebih memilih kecerdikan ketimbang kekuatan kasar membuat Sun Tzu menduduki tempat terhormat dalam rak buku para diplomat, jenderal dan manajer perusahaan. Sarat dengan ungkapan lugas dan peribahasa provokatif, Seni Perang dipelajari tekun oleh para pengusaha dan investor Asia, seperti sebelumnya oleh Mao Tse-tung, Ho Chi-minh, dan Vo Nguyen Giap. Kata orang Jepang, “politik itu bisnis, dan bisnis adalah perang.” kalau pasar adalah medan perang, yang mengharuskan strategi dan taktik, Sun Tzu menulis ajaran suci ini:
Umpanlah Mereka dengan bayangan untung, bingungkan dan silaukan mereka.
Gunakanlah amarah untuk membuat mereka murka,
rendah hatilah agar mereka sombong.
Letihkan mereka dengan jalan berputar-putar,
bikin mereka bertengkar sendiri.
Serang mereka di saat mereka tidak menduganya,
di saat mereka lengah.
Haluslah agar kau tidak terlihat.
Misteriuslah agar kau tak teraba.
Maka kau akan kuasai nasib lawanmu.
Tidak heran banyak pebisnis dari barat bingung dan merasa dimanipulasi oleh rekan bisnis Asianya.
Gunakanlah mata-mata dan pengelabuan dalam setiap usaha. Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan.
Setelah membaca Seni Perang pun banyak pemikir militer yang gagal memahami bahwa bagi Sun Tzu perang adalah kegagalan. Menang itu sangat penting, tetapi seni perang adalah menang tanpa bertempur.
Semua orang berkata menang di medan tempur itu baik,
padahal tidak.
Jenderal yang memenangkan setiap pertempuran
bukanlah jagoan sejati.
Membuat musuh kalah tanpa bertempur
itulah kuncinya.
Lebih baiklah menjaga keutuhan negeri
daripada menghancurkannya.
Mengalahkan lawan tanpa bertempur
Itulah puncak kemahiran.
Ada saatnya untuk menggencarkan kekuatan. Semua kemungkinan lain harus lebih dulu diupayakan mati-matian, termasuk berbalik dan lari.
Di antara yang mempraktekkan pemikiran Sun Tzu, yang paling lihai mungkin adalah orang Jepang. Ketika kalah dalam perang di tahun 1945, mereka meninggalkan model militer Prusia dan silaunya revolusi industri dan kembali ke Sun Tzu. Dengan bimbingan Sun Tzu, mereka membangun kembali Kawasan Asia Timur Raya Jepang tanpa menembakkan peluru.
Label: Tokoh
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 07.12 0 komentar
Rabu, 02 April 2008
Kekuatan Penawaran dan Permintaan
Penawaran dan permintaan adalah dua kata yang paling sering digunakan oleh kaum ekonom. Alasannya tidak lain adalah karena keduanya merupakan kekuatan yang membuat ekonomi pasar bekerja dengan baik. Keduanya menentukan jumlah barang yang dihasilkan dan juga harga jual dari barang itu. Jika ingin tahu bagaimana suatu kejadian atau kebijakan dapat mempengaruhi perekonomian, harus terlebih dahulu membayangkan bagaimana pengaruh kebijakan tersebut terhadap penawaran dan permintaan.
Istilah penawaran dan permintaan merujuk pada perilaku di masyarakat ketika terjadi interaksi di pasar. Pasar (market) adalah sekelompok pembeli dan penjual dari suatu barang atau jasa. Sebagai suatu kelompok, para pembeli menentukan seberapa banyak permintaan barang tersebut, dan sebagai suatu kelompok yang lain, para penjual menentukan seberapa banyak penawaran barang tersebut.
Ketika pergi ke toko untuk membeli sesuatu, itu berarti anda sedang memberi kontribusi pada permintaan terhadap sesuatu. Ketika mencari pekerjaan, anda memberi kontribusi kepada penawaran tenaga kerja. Karena penawaran dan permintaan adalah fenomena ekonomi yang sangat umum, model dari penawaran dan permintaan adalah alat yang sangat baik untuk analisis.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 00.21 0 komentar
Selasa, 01 April 2008
Developing an Online Strategy
By BNET Editorial
published on BNET.com 12/18/2007
An increasing number of marketing activities including advertising, direct marketing, relationship-building, customer service, and channel support are now Internet-based. It’s essential to identify the activities that can move effectively to the Web and ensure that they're produced to the same rigorous standards as traditional marketing activities. An online strategy can reduce the costs of doing business by making it easier and quicker to provide information. In the longer term, it can provide a basis for better collaboration with customers, suppliers and business partners.
What You Need to Know
Is online strategy different to traditional business and marketing strategy?
As many of the dot.com pioneers found, the basics of business and marketing do not change. An online strategy will not succeed unless it offers the right products or services to the right target audience. An online strategy offers more options for reaching the market and delivering certain types of product or service. Traditional marketing methods, such as advertising, direct mail and public relations continue to be widely used, but online marketing techniques add a new dimension to the marketing mix.
What to Do
Set Your Objectives
You can develop an online strategy that complements your existing business and marketing strategy, or you may wish to move all your resources into an online strategy. You can use an online presence to achieve a number of important objectives, including:
• raise awareness among a wider audience
• market your products across a wider geographical territory
• reduce the cost of sales and marketing
• increase the accuracy and efficiency of marketing
• reduce the cost of customer service
• improve convenience for customers
• increase customer retention.
Plan Your Web Site Strategy
Your Web Site is at the heart of your online strategy. Depending on the nature of your business, your Web Site can have many different roles, but everything within your site should have one purpose—to get your visitors to take action. Ultimately, that means placing an order with you online or offline—but the Web Site can support many of the processes before and after the sale:
• request or download product and service information
• read case studies
• find out about your company
• contact you to request a sales call
• find out about support services
• request delivery details
• get answers to technical queries.
To support those processes, you need to plan the right content for your Web Site and build in facilities to deliver services and information in a convenient cost-effective way.
Develop Products for Online Delivery
While the Internet has made it possible for customers to select and order most types of business or consumer products online, there is also a range of digital products and services that can be delivered directly from a Web Site. These include:
• software;
• information services;
• research reports;
• consultants’ reports;
• news services.
Communicate Quickly and Precisely with E-mail
E-mail is the most widely-used form of online marketing and should therefore be an integral part of your online strategy. Regular contact is the key to success in e-mail marketing. When customers first visit a site, it is unlikely that they will make an immediate purchase. They will be gathering information to make better purchase decisions. E-mail allows you to continue delivering relevant information and moving the customer toward a purchase. You could use e-mail to alert customers to special offers, new product features, price reductions or other promotional activity.
Capture Data on Your Site
An important element in your online strategy is capturing and using visitor data. Capturing data in the right way can have an impact on your ability to acquire and retain customers. However, asking for too much information can put people off, so you should define your data capture strategy carefully:
• Specify the data you actually need to achieve the objectives of your business
• Keep compulsory data to a bare minimum, to maximize consumer registrations and transactions
• Make data that is useful, but not essential voluntary
• Only ask customers for information that you intend to use to benefit them, for example to provide a personalized service or speed up response time
• Define how you plan to identify and track users, either by logins or the use of “cookies”
• Add a “Comments” textbox asking for visitor’s input. This can provide even more valuable qualifying information
• Include a check box asking the visitor if he or she wishes to receive further information from your company.
Use Microsites to Encourage Action
A microsite or landing page is a Web Site page that is designed to persuade the site visitor to convert into a customer by completing a form and becoming a qualified lead, signing up for a newsletter or other online service, or making a purchase. Microsites provide a simple, responsive fulfillment mechanism for customers responding to your advertising or direct marketing campaigns. The microsite takes the customer straight to the relevant location on the Web Site, reducing the risk of their dropping out of the purchasing process, as well as giving a more satisfying customer experience.
Offer Personalized Service
You can use online marketing to build a one-to-one relationship with your customers. Database technology supports a level of personalization that can deliver highly tailored products and services to specific individuals. Each time a customer logs onto a Web Site, the database can pull together purchase history and personal preferences as a basis for a highly personalized response. By giving customers a single point of entry, you can increase customer loyalty and learn more about their purchasing patterns. That provides an excellent basis for adding value and developing new products and services.
Measure Marketing Results
Online marketing by e-mail or banner advertising makes it easier to measure response to your campaign. When customers visit your Web Site, you can monitor their activity by analyzing the pages they take, or the download requests they make. Unlike traditional media which require customers and prospects to make a phone call, mail a letter, or go to a store, online marketing is seamless.
Provide Useful Information on Your Web Site
Your Web Site should provide a source of useful information for customers and prospects. You should therefore include:
• copies of white papers and case studies for downloading;
• bulletins on research you are carrying out;
• electronic copies of your customer magazines;
• copies of seminar or conference papers delivered by your own speakers;
• copies of published articles or news items that demonstrate thought leadership
• details of events in which your company is participating;
• Weblogs commenting on industry issues;
• archive copies of Webcasts or podcasts for downloading.
Make it easy for visitors to find product information on your Web Site by:
• converting your publications to PDFs so that visitors can download them;
• creating a library listing all the publications available with a brief description of each;
• placing links to publications on pages where you describe relevant products or industry solutions.
Build Community
You can encourage visitors to return more frequently by setting up a virtual community on your Web Site. Facilities to support the community could include, newsletters, discussion groups, and information. Online discussion facilities allow users to post messages offering helpful information or requesting help or further information from other members of the community. This can help you build closer relationships with customers and gain insight into business and technical issues that affect them.
Offer Customers Self-Service
You can use your Web Site to offer customers self-service facilities. That means you can deliver service around the clock, without tying up key staff. It also enables you to reduce your telephone-based support facilities by transferring support resources to the Web Site. Self-service is important to a number of sales and customer service processes:
• delivery of information
• direct sales
• sales administration
• customer support
• technical support
With self-service, customers can obtain information on products, prices, features, and order status from a Web Site; they can place orders directly and obtain delivery information. They can also make support requests or get online answers to technical queries. Customers recognize the value of these services—many having reported significant savings in productivity through improved support and sales administration management.
Encourage Online Collaboration
As part of your longer-term online strategy, you can encourage customers, suppliers, and business partners to work collaboratively, strengthening relationships and improving the product development process. There are a variety of tools and technologies to support communication and collaboration between parties, including:
• e-mail to exchange drawings, models, and project information;
• meetings held by teleconferencing, videoconferencing, or Webconferencing;
• project Web Sites to create a single source of project documentation, with e-mail alerts for updates.
These tools help to create a “virtual project room” where users can share digital product information for interactive design reviews, collaborative design sessions, or information sharing, regardless of their location.
What to Avoid
You Ignore Marketing Basics
Internet marketing has introduced a variety of new techniques. However, it is easy to be seduced by the technology of Internet marketing and ignore marketing basics. Your online strategy, like your traditional marketing strategy, must target the right people with products and services that meet their needs, use promotion and pricing to increase sales, and build strong relationships to maintain customer loyalty. At the same time, make sure your site is easy to navigate; simplify ordering and payment; and ensure that fulfillment is effective. If customers find it difficult to buy from you, your investment in online marketing is wasted.
Where to Learn More
Book:
Chaffey, Dave, Internet Marketing: Strategy, Implementation and Practice, 3rd ed. Prentice Hall,
2006.
Web Site:
e-consultancy: www.e-consultancy.com/publications/managing-ecommerce-team
Copyright © 2007 CNET Networks, Inc. All Rights Reserved.
Label: Management
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 21.55 0 komentar
Senin, 31 Maret 2008
Ayat-ayat Setan Karl Marx
Salah satu mimpi buruk dalam kehidupan Marx adalah ketertarikannya kepada Faust karya Goethe, sebuah kisah tentang pemuda yang batinnya mengalami perang antara kebaikan dan keburukan. Dia kemudian mengadakan perjanjian dengan Setan. Faust ini kemudian menukar jiwanya (melalui perantara Mephistopheles) untuk mendapatkan kehidupan yang menyenangkan dan hak mutlak untuk menguasai dunia melalui tenaga kerja. Faust Goethe adalah seperti Injil bagi Marx. Dia mengingat semua ucapan Mephitopheles, dan dapat membacakan bagian yang panjang-panjang kepada anaknya (Dia juga menykai Shakespeare).
Saat dia masih mahasiswa di Universitas Berlin pada 1837, Marx menulis sajak-sajak romantis yang dipersembahkan untuk Jenny von Westphalen. Salah satu sajaknya, “The Player”, dipublikasikan di majalah Jerman, Althenaeum, pada 1841. Puisi ini mendeskripsikan seorang pemain violin yang bisa memanggil kekuatan kegelapan. Pemain itu, entah itu Lucifer atau Mephistopheles, mengatakan:
Lihat, pedangku yang berdarah hitam akan menghujam
Tepat menembus jiwamu
Tuhan tak tahu seni dan tak menghargainya
Uap neraka menguap dan mengisi otak
Sampai aku gila dan hatiku berubah
Lihat pedang ini, Pangeran Kegelapan telah menjualnya padaku
Demi aku dia menghancurkan masa dan memberi tanda
Aku kini memainkan tarian kematian
Dikutip dari: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: Te Lives and Ideas of the Great Thingkers”, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso.
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 20.38 0 komentar
Profesor Keynes Suka Membuat Orang Bingung
Buku-buku Ricardo dan Marx bisa membuat pusing, demikian pula Keynes. Berikut ini adalah contoh pertanyaan yang menunjukkan beberapa hal membingungkan yang dijumpai di dalam bukunya, The General Theory.
T: Profesor Keynes, apa yang Anda maksud dengan “pengangguran terpaksa” (involuntary unemployment)?
J: Definisi saya adalah... sebagai berikut: Orang terpaksa menganggur jika, ketika ada sedikit kenaikan harga barang-upah yang berhubungan dengan uang-upah, baik itu penawaran agregat tenaga kerja mau bekerja pada tingkat uang-upah yang ada dan permintaan agregat untuk tenaga kerja pada upah itu lebih besar ketimbang jumlah pekerja yang ada. (halaman 15)
T: Hmmm. Tampaknya ini mencerahkan. Profesor Keynes, lalu apa yang mengatur investasi swasta di ekonomi pasar?
J: kesimpulan kami dapat dinyatakan dalam bentuk yang paling umum... seperti berikut: Tidak mungkin ada kenaikan lebih lanjut di dalam tingkat investasi ketika tingkat bunga yang terbesar dari semua aset yang tersedia adalah sama dengan efisiensi marginal terbesar dari semua aset, yang diukur dari segi aset yang tingkat bunganya adalah yang terbesar (halaman 236).
T: ya, sepertinya saya paham... satu pertanyaan terakhir, Profesor Keynes. Bukankah ekspansi moneter akan memicu boom artifisial?
J: Pada poin ini kitaberada dalam air yang sangat dalam. Bebek liar telah menyelam jauh ke dalam air, sedalam yang ia bisa, dan terjerat belitan rumput-rumput dan tumpukan sampah yang ada di dalam sana, sehingga diperlukan anjing yang sangat pintar untuk menyelam dan mengangkatnya kembali ke permukaan (halaman 183).
T: Terima kasih Profesor Keynes. Dan selamat atas hadiah Nobel Sastranya.
Dikutip dari: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: Te Lives and Ideas of the Great Thingkers”, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso.
Label: Intermezzo
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 20.36 0 komentar
Building Breakthrough Businesses Within Established Organizations
Key ideas from the Harvard Business Review article By Vijay Govindarajan, Chris Trimble
The Idea in Brief
Why did toy and gaming giant Hasbro unload its new software division at a rock-bottom price just five years after launching it? Like many other established companies, Hasbro learned the hard way that new ventures rarely coexist peacefully with the core businesses that launched them. The company failed to nurture its nascent division--and the venture stumbled badly.
Innovative ideas aren't enough to fuel breakthrough growth in a new business. To thrive, new ventures must surmount three challenges:
Forget some of what has made your core business successful--such as which skills to acquire and which customers to serve.
Borrow only those assets from your core business--brands, sales relationships, manufacturing capacity--that provide a distinct competitive advantage.
Learn quickly. The faster you resolve your venture's inevitable unknowns, the sooner you'll zero in on a winning business model.
To master these challenges, you must redesign virtually every aspect of your new business—from hiring, performance evaluation, and budgeting to compensation, definitions of success, and reporting relationships. Hard work? Yes. But the payoff is worth it. By artfully blending forgetting, borrowing, and learning, the New York Times Company's new Internet division turned around a dismal start and generated profits just a few years after launch.
The Idea in Practice
To translate breakthrough business ideas into breakthrough growth:
Forget
Your new venture has unique answers to the questions 'Who's our customer?' 'What value do we offer?' and 'How do we deliver that value?' Yet institutional memory (stories about the established company's history, or traditional performance measures) can prevent the new business's leaders from forgetting the old answers. Your strategy? Restructure the nascent division.
Corning launched Corning Microarray Technologies (CMT) to make glass laboratory apparatus for the emerging genomics industry. CMT stumbled initially, after adopting Corning's traditional product-development model--which didn't apply to genomics work. Only after Corning restructured CMT did the division launch a successful product. Changes included appointing a new general manager, who facilitated communication between businesspeople and scientists and consolidated far-flung CMT employees to develop a unique culture.
Borrow
Borrow assets from your core business only if they afford such a competitive advantage that you'd highlight it in a pitch to outside investors. Typically just one or two areas (e.g., Corning's expertise in glass manufacturing) will meet this criterion. Once you've borrowed, manage the resulting tensions between your new and old businesses.
When the New York Times Company's Internet business, New York Times Digital (NYTD), borrowed the newspaper's branded content and advertiser base, an 'us versus them' undertone developed. The paper's editorial staff worried about protecting its brand; its circulation department accused the Internet business (which offered free content) of cannibalizing newspaper subscriptions. To manage the tension, company leaders conducted analyses showing that the Web site was generating new newspaper subscriptions. And during performance reviews, managers stressed the importance of cross-unit collaboration. Results? After becoming profitable, NYTD began generating $30 million-plus annually on revenues of $100 million.
Learn
By analyzing disparities between your new business's predicted and actual performance, you can develop a winning business model or exit a hopeless situation in time. Expect that early predictions will be wild guesses. Resist the temptation to discard them: In time, your guesses become informed estimates and then reliable forecasts.
To accelerate learning, create and review simple business plans at frequent intervals. Evaluate your new division's and core business's performance in separate meetings. Don't judge performance of the nascent unit's leader against standards used in the old business. Instead, evaluate his or her ability to learn and make good decisions.
Copyright 2005 Harvard Business School Publishing Corporation. All rights reserved.
About the Authors
Vijay Govindarajan is the Earl C. Daum 1924 Professor of International Business at Dartmouth College's Tuck School of Business in Hanover, New Hampshire.
Chris Trimble is an adjunct associate professor of business administration at Tuck and a senior fellow at Katzenbach Partners in New York. Govindarajan and Trimble direct the William F. Achtmeyer Center for Global Leadership at Tuck and are the authors of Ten Rules for Strategic Innovators: From Idea to Execution (forthcoming from Harvard Business School Press, 2005), from which this article is adapted.
Copyright © 2007 CNET Networks, Inc. All Rights Reserved.
Label: Management
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 20.28 0 komentar
Analyzing Your Business’s Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats
© A & C Black Publishers Ltd 2006
GETTING STARTED
SWOT analysis (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) is a method of assessing a business, its resources, and its environment. Doing an analysis of this type is a good way to better understand a business and its markets, and can also show potential investors that all options open to, or affecting a business at a given time have been thought about thoroughly.
The essence of the SWOT analysis is to discover what you do well; how you could improve; whether you are making the most of the opportunities around you; and whether there are any changes in your market—such as technological developments, mergers of businesses, or unreliability of suppliers—that may require corresponding changes in your business. This actionlist will introduce you to the ideas behind the SWOT analysis, and give suggestions as to how you might carry out one of your own.
FAQS
What is the SWOT process?
The SWOT process focuses on the internal strengths and weaknesses of you, your staff, your products, and your business. At the same time, it looks at the external opportunities and threats that may have an impact on your business, such as market and consumer trends, changes in technology, legislation, and financial issues.
What is the best way to complete the analysis?
The traditional approach to completing SWOT is to produce a blank grid of four columns— one each for strengths, weaknesses, opportunities, and weaknesses—and then list relevant factors beneath the appropriate heading. Don’t worry if some factors appear in more than one box and remember that a factor that appears to be a threat could also represent a potential opportunity. A rush of competitors into your area could easily represent a major threat to your business. However, competitors could boost customer numbers in your area, some of whom may well visit your business.
What is the point of completing a SWOT analysis?
Completing a SWOT analysis will enable you to pinpoint your core activities and identify what you do well, and why. It will also point you towards where your greatest opportunities lie, and highlight areas where changes need to be made to make the most of your business.
MAKING IT HAPPEN
Know Your Strengths
Take some time to consider what you believe are the strengths of your business. These could be seen in terms of your staff, products, customer loyalty, processes, or location. Evaluate what your business does well; it could be your marketing expertise, your environmentally-friendly packaging, or your excellent customer service. It’s important to try to evaluate your strengths in terms of how they compare to those of your competitors. For example, if you and your competitors provide the same prompt delivery time, then this cannot be listed as a strength. However, if your delivery staff is extremely polite and helpful, and your competitor’s staff has very few customer-friendly attributes, then you should consider listing your delivery staff’s attitude as a strength. It is very important to be totally honest and realistic. Try to include some personal strengths and characteristics of your staff as individuals, and the management team as individuals. Whatever you do, you must be totally honest and realistic: there’s no point creating a useless work of fiction!
Recognize Your Weaknesses
Try to take an objective look at every aspect of your business. Ask yourself whether your products and services could be improved. Think about how reliable your customer service is, or whether your supplier always delivers exactly what you want, when you want it. Try to identify any area of expertise that is lacking in the business. as you can then take steps to improve that aspect. For example, you might realize that you need some more sales staff, or financial help and guidance. Don’t forget to think about your business’s location and whether it really does suit your purpose. Is there enough parking, or enough opportunities to attract passing trade?
Your main objective during this exercise is to be as honest as you can in listing weaknesses. Don’t just make a list of mistakes that have been made, such as an occasion when a customer was not called back promptly. Try to see the broader picture instead and learn from what happened. It may be that your systems or processes could be improved so that customers are contacted at the right time, so work on boosting your systems and making that change happen rather than looking about for someone to blame.
It’s a good idea to get an outside viewpoint on what your weaknesses are as your own perceptions may not always marry up to reality. You may strongly believe that your years of experience in a sector reflect your business’s thorough grounding and knowledge of all of your customers’ needs. Your customers, on the other hand, may perceive this wealth of experience as an old-fashioned approach that shows an unwillingness to change and work with new ideas. Be prepared to hear things you may not like, but which, ultimately, may be extremely helpful.
Spot the Opportunities
The next step is to analyze your opportunities, and this can be tackled in several ways. External opportunities can include the misfortune of competitors who are not performing well, providing you with the opportunity to do better. There may be technological developments that you could benefit from, such as broadband arriving in your area, or a new process enhancing your products. There may be some legislative changes affecting your customers, offering you an opportunity to provide advice, support, or added services. Changes in market trends and consumer buying habits may provide the development of a niche market, of which you could take advantage before your competitors, if you are quick enough to take action.
Another good idea is to consider your weaknesses more carefully, and work out ways of addressing the problems, turning them around in order to create an opportunity. For example, the pressing issue of a supplier who continually lets you down could be turned into an opportunity by sourcing another supplier who is more reliable and who may even offer you a better deal. If a member of staff leaves, you have an opportunity to reevaluate duties more efficiently or to recruit a new member of staff who brings additional experience and skills with them.
Watch Out for Threats
Analyzing the threats to your business requires some guesswork, and this is where your analysis can be overly subjective. Some threats are tangible, such as a new competitor moving into your area, but others may be only intuitive guesses that result in nothing. Having said that, it’s much better to be vigilant because if potential threat does become a real one, you’ll be able to react much quicker: you’ll have considered your options already and hopefully also put some contingency planning into place.
Think about the worst things that could realistically happen, such as losing your customers to your major competitor, or the development of a new product far superior to your own. Listing your threats in your SWOT analysis will provide ways for you to plan to deal with the threats, if they ever actually start to affect your business.
Use Your Analysis
After completing your SWOT analysis, it’s vital that you learn from the information you have gathered. You should now plan to build on your strengths, using them to their full potential, and also plan to reduce your weaknesses, either by minimizing the risk they represent, or making changes to overcome them. Now that you understand where your opportunities lie, make the most of them and aim to capitalize on every opportunity in front of you. Try to turn threats into opportunities. Try to be proactive, and put plans into place to counter any threats as they arise.
To help you in planning ahead, you could combine some of the areas you have highlighted in the boxes; for example, if you see an external opportunity of a new market growing, you will be able to check whether your internal strengths will be able to make the most of the opportunity. For example, do you have enough trained staff in place, and can your phone system cope with extra customer orders? If you have a weakness that undermines an opportunity, it provides a good insight as to how you might develop your internal strengths and weaknesses to maximize your opportunities and minimize your threats.
The basic SWOT process is to fill in the four boxes, but the real benefit is to take an overview of everything in each box, in relation to all the other boxes. This comparative analysis will then provide an evaluation that links external and internal forces to help your business prosper.
COMMON MISTAKES
Focusing just on a few issues
Don’t just focus on the large, obvious issues, such as a major competitor encroaching on your business. You need to consider all issues carefully, such as whether your Internet system provides everything you need or whether your staffing levels are as they should be.
Completing your SWOT analysis on your own
Do take advantage of other people’s contribution when you’re completing your SWOT analysis; don’t try and do it alone. Other people’s perspectives can be very useful, particularly as they may not be as close to the business as you are. This distance can often help them see answers to thorny questions more easily, or to be more innovative: we all get stuck in a rut at points.
Using your analysis for the next ten years
Don’t do a SWOT analysis once and then never repeat the exercise. Your business environment will be constantly changing, so use SWOT as an ongoing business analysis practice.
Relying on SWOT to provide all the answers
Use SWOT as part of an overall strategy to analyze your business and its potential. It is a useful guide, not a major decision-making tool so don’t base major decisions on this analysis and nothing else.
Label: Management
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 20.12 0 komentar
Sabtu, 29 Maret 2008
Facing Ambiguous Threats
Key ideas from the Harvard Business Review article By Michael A.
Roberto, Richard M.J. Bohmer, Amy C. Edmondson
The Idea in Brief
Are you dismissing small signals that may portend danger to your business? Ignore these ambiguous threats, and you could imperil your company. Pharmaceutical giant Merck discovered this firsthand when it downplayed early unclear data linking its painkiller Vioxx with cardiovascular risks.
It's frighteningly easy to underestimate ambiguous warning signs. When a threat isn't obvious, we fall prey to mental biases (such as dismissing data contradicting our existing viewpoints) that cause us to minimize perceptions of danger.
How to protect your company in the face of murky signals that your company may come to harm? Develop a rigorous discipline for identifying, evaluating, and responding to ambiguous threats. Roberto, Bohmer, and Edmondson recommend this three-step process: 1) Hone your company's rapid problem-solving and teamwork skills through practice. 2) Amplify ambiguous threats, encouraging people to ask "what if" questions about them. 3) Explore possible responses to threats through speedy, low-cost experimentation.
Apply this process, and you boost your chances of preventing disasters that can destroy your firm. Equally valuable, you enhance your company's ability to acknowledge problems and separate significant signals from mere noise--two skills essential for making high-stakes decisions wisely.
The Idea in Practice
Assess Your Ability to Manage Ambiguous Threats
Is your firm prepared to deal with ambiguous threats? The answer is "no" if your company:
• Spends more time responding to small emergencies than seeking to prevent them.
• Lacks a clear process for detecting and responding to ambiguous threats.
• Has a culture that discourages people from expressing concern when they spot ambiguous threats.
Manage Ambiguous Threats
Step 1: Practice teamwork under pressure. Stress and anxiety run high as ambiguous threats emerge and the clock ticks toward potential disaster. So don't try to improvise during this time. Instead, regularly rehearse responses that you can apply to a wide range of threats. These "dress rehearsals" help people in your firm get to know each others' strengths, weaknesses, and informal roles. If disaster does strike, participants will know who can provide an intelligent analysis and who will propose creative solutions.
Morgan Stanley's information technology group practices responding to a variety of threats--such as natural disasters, terrorism, and attacks on their network by sophisticated hackers--that could impair the firm's systems capabilities.
Step 2: Amplify the weak signal. Initiate a brief but intense period of heightened inquiry about the ambiguous threat. Encourage people to ask uncomfortable questions about the potential threat and to explore its significance--without fear of retribution should the threat prove harmless.
Many hospitals have created lists of early warning signs of potential cardiac arrest. When nurses spot such signs, they call in rapid response teams of critical care nurses and respiratory therapists to help them assess the signs' significance. These teams quickly determine whether a warning sign merits further action and specialists' attention. At some hospitals, these teams have dramatically lowered the number of cardiac arrests.
Step 3: Experiment. When a potential business failure looms, formal scientific inquiry into possible solutions may consume too much time or other resources. So, develop a less formal--and more rapid--process.
Electronic Arts investigates consumers' possible responses to a proposed video game feature by creating simple prototypes that mimic portions of the gaming experience for which the company wants feedback. Given the immense cost of video game development and the low probability that any particular project will yield a hit, this "mini-prototyping" enables the firm to identify and address potential problems more quickly and inexpensively than rivals do.
Copyright 2006 Harvard Business School Publishing Corporation. All rights reserved.
About the Authors
Michael A. Robertois the Trustee Professor of Management at Bryant University in Smithfield, Rhode Island, and the author of Why Great Leaders Don't Take Yes for an Answer (Wharton School Publishing, 2005).
Richard M.J. Bohmer is a physician and an associate professor of business administration at Harvard Business School in Boston.
Amy C. Edmondsonis the Novartis Professor of Leadership and Management at Harvard Business School. For a multimedia preview of this material, visit hbr.org.
Copyright © 2007 CNET Networks, Inc. All Rights Reserved.
Label: Management
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 23.39 0 komentar
Learning to Lead Toyota
Key ideas from the Harvard Business Review article By Steven J. Spear
The Idea in Brief
Many companies try to emulate Toyota's vaunted production system (TPS), which uses simple real-time experiments to continually improve operations. Yet few organizations garner the hoped-for successes Toyota consistently achieves: unmatched quality, reliability, and productivity; unparalleled cost reduction; sales and market share growth; and market capitalization.
Why the difficulty? Companies take the wrong approach to training leaders in TPS: They rely on cursory introductions to the system, such as plant walk-throughs and classroom orientation sessions. But to truly understand TPS, managers must live it--absorbing it the long, hard way through total immersion training.
The keys to total immersion training? Leadership trainees directly observe people and machines in action--watching for and addressing problems as they emerge. Through frequent, simple experiments--relocating a switch, adjusting computer coding--they test their hypotheses about which changes will create which consequences. And they receive coaching--not answers--from their supervisors.
Total immersion training takes time. No one can assimilate it in just a few weeks or months. But the results are well worth the wait: a cadre of managers who not only embody TPS but also can teach it to others.
The Idea in Practice
The keys to TPS total immersion training:
Direct Observation
Trainees watch employees work and machines operate, looking for visible problems. Bob Dallis, a talented manager hired for an upper-level position at one of Toyota's U.S. engine plants, started his training by observing engine assemblers working. He spotted several problems. For example, as one worker loaded gears in a jig that he then put into a machine, he often inadvertently tripped the trigger switch before the jig was fully aligned, causing the apparatus to fault.
Changes Structured as Experiments
Learners articulate their hypotheses about changes' potential impact, then use experiments to test their hypotheses. They explain gaps between predicted and actual results.
During the first six weeks of his training, Dallis and his group of assembly workers proposed 75 changes--such as repositioning machine handles to reduce wrist strain--and implemented them over a weekend. Dallis and his orientation manager, Mike Takahashi, then spent the next week studying the assembly line to see whether the changes had the desired effects. They discovered that worker productivity and ergonomic safety had significantly improved.
Frequent Experimentation
Trainees are expected to make many quick, simple experiments instead of a few lengthy, complex ones. This generates ongoing feedback on their solutions' effectiveness. They also work toward addressing increasingly complex problems through experimentation. This lets them make mistakes initially without severe consequences--which increases their subsequent willingness to take risks to solve bigger problems.
During his first three days of training at a Japanese plant, Dallis was asked to simplify a production employee's job by making 50 improvements--an average of one change every 22 minutes. At first Dallis was able to observe and alter obvious aspects of his workmate's actions. By the third day, he was able to see the more subtle impact of a new production layout on the worker's movements. Result? 50 problems identified--35 of which were fixed on the spot.
Managers as Coaches
Learners' supervisors serve as coaches, not problem solvers. They teach trainees to observe and experiment. They also ask questions about proposed solutions and provide needed resources. Takahashi showed Dallis how to observe workers to spot instances of stress and wasted effort. But he never suggested actual process improvements. He also gave Dallis resources he needed to act quickly--such as the help of a worker who moved equipment and relocated wires so Dallis could test as many ideas as possible.
Copyright 2006 Harvard Business School Publishing Corporation. All rights reserved.
About the Author
Steven J. Spear is an assistant professor at Harvard Business School in Boston. He is the author, with H. Kent Bowen, of "Decoding the DNA of the Toyota Production System," which was published in the September-October 1999 issue of HBR.
Copyright © 2007 CNET Networks, Inc. All Rights Reserved.
Label: Management
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 23.33 1 komentar
Bagaimana Perekonomian Secara Keseluruhan Bekerja
Setelah sebelumnya dibahas masalah bagaimana individu membuat keputusan dan memperhatikan bagaimana masyarakat dapat saling berinteraksi, maka bagian terakhir dari 10 prinsip ekonomi adalah membahas tindak lanjut dari keduanya yaitu bagaimana perekonomian secara keseluruhan bekerja.
1. Standar hidup suatu negara bergantung pada kemampuannya menghasilkan barang dan jasa.
2. Harga-harga meningkat jika pemerintah mencetak uang terlalu banyak
3. Masyarakat menghadapi tradeoff jangka pendek antara inflasi dan pengangguran
Standar Hidup suatu Negara Bergantung pada Kemampuannya Menghasilkan Barang dan Jasa.
Pada saat ini kita bisa menilai negara mana yang dikatakan memiliki kualitas hidup masyarkatnya lebih baik dibanding negara lainnya. Sederhananya, kita bisa melihat dari rata-rata pendapatan penduduknya. Bandingkan antara Amerika, Jepang, China, Kamboja, Nigeria, Bangladesh, atau Indonesia. Umumnya negara yang memiliki rata-rata pendapatan penduduknya tinggi kualitas hidup masyarakatnya pun tinggi. Jadi, jika ingin meningkatkan kualitas hidup penduduk, negara harus mampu setidaknya meningkatkan pendapatan rata-rata setiap penduduk. Bagaimana caranya? Hal ini bisa dikaitkan dengan masalah produktivitas.
Produktivitas yang dimaksud adalah besarnya jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dari satu jam kerja seorang pekerja. Di negara-negara dimana pekerjanya dapat menghasilkan jumlah barang dan jasa yang banyak per satu satuan waktu, sebagian besar masyarakatnya menikmati standar hidup yang tinggi.
Hubungan mendasar antara produktivitas dan standar hidup sebenarnya sederhana, tetapi berdampak besar, karena produktivitas adalah masalah utama yang berpengaruh terhadap standar hidup, sedangkan penjelasan lainnya bersifat pendukung. Rendahnya jumlah dan kualitas beberapa jenis hasil pertanian, sebab utamanya bukan karena kalah oleh hasil pertanian impor tetapi rendah nya produktivitas petani kita yang menyebabkan harus mengimpor.
Hubungan produktivitas dan standar hidup juga berdampak pada kebijakan publik. Ketika dihadapkan pada pertanyaan bagaimana suatu kebijakan dapat mempengaruhi standar hidup, inti dari pertanyaan itu sebenarnya adalah bagaimana suatu kebijakan dapat mempengaruhi kemampuan kita untuk menghasilkan barang dan jasa. Untuk meningkatkan standar hidup, para pembuat kebijakan harus meningkatkan produktivitas dengan cara memastikan bahwa para pekerjanya terdidik baik, memiliki peralatan yang diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa, serta memiliki akses ke teknologi terbaik yang tersedia.
Harga-harga Meningkat Jika Pemerintah Mencetak Uang Terlalu Banyak
Membicarakan pertumbuhan uang selalu menyinggung inflasi. Inflasi adalah peningkatan harga secara keseluruan dalam suatu perekonomian secara terus-menerus. Apa penyebab inflasi? Adalah pertumbuhan jumlah uang. Ketika pemerintah mencetak uang dalam jumlah yang besar, nilai uang itu sendiri akan turun. Maka ketika sebenarnya nilai uang turun, untuk mempertahankan nilai barang yang diperjualbelikan, harga-harga harus dinaikkan. Hal ini akan terus berputar, dan berakibat pada harga yang semakin tinggi dan jumlah uang yang beredar juga tinggi.
Masyarakat Menghadapi Tradeoff Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran.
Ketika pemerintah meningkatkan jumlah uang di dalam perekonomiannya, hasilnya adalah inflasi. Hasil lainnya, setidaknya dalam jangka pendek, adalah tingkat pengangguran yang lebih rendah. Melihat arahnya yang berlawanan, bisa kita katakan bahwa (dalam jangka pendek) terjadi tradeoff antara inflasi dengan pengangguran. Hubungan antara keduanya bisa dilihat dari kurva Phillips.
Tradeoff antara inflasi dan pengangguran sifatnya hanyalah sementara, namun dapat berlangsung menahun. Oleh karena itu, kurva Phillips penting bagi kita agar bisa memahami banyak perkembangan di bidang perekonomian. Khususnya, kurva Phillips penting untuk memahami siklus bisnis (business cycle), yaitu fluktuasi yang tidak menentu dan tidak dapat ditebak dalam kegiatan ekonomi, sebagaimana diukur dari banyaknya orang yang bekerja atau jumlah barang dan jasa yang dihasilkan.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 07.23 0 komentar
Minggu, 23 Maret 2008
Bagaimana Masyarakat Berinteraksi
Ketika seseorang sudah mengambil keputusan, ternyata keputusan tersebut bisa berpengaruh kepada kehidupan orang lain. Ketiga prinsip di bawah akan menjelaskan bagaimana masyarakat saling berinteraksi.
1. Perdagangan Menguntungkan Semua Pihak
2. Pasar adalah Tempat yang Baik untuk Mengorganisasikan Kegiatan Ekonomi
3. Pemerintah Terkadang Mampu Meningkatkan Hasil-hasil dari Pasar
Perdagangan Menguntungkan Semua Pihak
Apapun bentuknya, berdagang itu lebih menguntungkan jika dibanding dengan tidak berdagang. Jika tidak berdagang, kita harus memenuhi semua kebutuhan dengan mebuat sendiri. Menanam padi sendiri, membuat baju sendiri, membangun rumah sendiri, dan lainnya. Semua hal itu jelas menyusahkan dan mahal biayanya. Dengan cara berdagang, kita membuat yang bisa kita buat, sedangkan yang tidak bisa dibuat biar orang lain yang membuatnya dan kita akan mendapatkannya melalui pertukaran. Dengan begitu kita akan mendapatkan lebih banyak dengan biaya yang lebih murah. Dari situ kemudian muncul istilah spesialisasi.
Pasar adalah Tempat yang Baik untuk Mengorganisasikan Kegiatan Ekonomi
Saat ini, kebanyakan negara di dunia, menganut pemikiran ekonomi pasar. Perekonomian pasar merupakan suatu bentuk perekonomian yang mengalokasikan sumber dayanya melalui keputusan-keputusan terdesentralisasi dari berbagai perusahaan dan rumah tangga, seiring dengan interaksi mereka di pasar barang dan jasa. Perusahaan memutuskan untuk menghasilkan apa dan rumah tangga memutuskan untuk mengkonsumsi apa, dimana interaksi diantara keduanya dipengaruhi oleh harga dan kepentingan pribadi. Faktor kepentingan pribadi inilah yang banyak mendapat tentangan dari beberapa pihak mengenai konsep perekonomian pasar. Secara tersirat, ini berarti pada dasarnya setiap orang tidak mengharapkan tercapainya kemakmuran masyarakat seutuhnya, tetapi lebih kepada pemenuhan kepentingan pribadi.
Berbicara mengenai perekonomian pasar tidak akan lepas dari pemikiran Adam Smith dan konsep ”tangan tak tampak” (invisible hand). Semua rumah tangga dan perusahaan di dalam masyarakat yang berinteraksi di pasar bertindak seolah-olah dibimbing oleh suatu ”tangan tak tampak” yang membawa mereka pada hasil-hasil yang dikehendaki pasar. Dan pada akhirnya, kita bisa beranggapan bahwa apa yang dimaksud dengan ”tangan tak tampak” adalah harga, karena harga mencerminkan nilai suatu barang bagi masyarkat sekaligus biaya yang harus dibayar untuk membuat barang tersebut. Ketika kita mempertimbangkan harga pada saat ingin membeli barang, secara tidak sadar berarti kita mempertimbangkan biaya dan manfaat. Hal ini membuat harga memandu kita sebagai pengambil keputusan untuk mencapai hasil-hasil yang mungkin bisa memaksimalkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Pemerintah Terkadang Mampu Meningkatkan Hasil-hasil dari Pasar
Berkaitan dengan ”tangan tak tampak”, ada penjelasan bahwa ketika pemerintah mencegah harga-harga untuk menyesuaikan diri secara alamiah terhadap permintaan dan penawaran, kemampuan tangan tak tampak untuk mengoordinasikan perekonomian menjadi tidak ampuh lagi. Ketika ada intervensi dari pemerintah terhadap perekonomian, maka antara rumah tangga dan perusahaan, pembeli dan penjual, tidak bisa lagi memperkirakan biaya dan manfaat yang sebenarnya. Hal ini akan mengganggu pengambilan keputusan, dan akhirnya mengganggu perekonomian.
Tetapi kenapa pemerintah tetap dibutuhkan? Karena ada hal-hal yang memang tidak bisa dijangkau atau diatur tangan tak tampak. Tangan tak tampak bisa mengatur perekonomian, tetapi tidak bisa mengatur permasalahan yang berkaitan dengan, misalkan, hukum. Pemerintah dibutuhkan untuk melindungi setiap rumah tangga dan perusahaan serta menjaga agar kegiatan perekonomian berjalan dengan benar. Perusahaan memproduksi barang untuk dijual, bukan diambil secara gratis. Pembeli mengkonsumsi barang yang memang layak untuk dikonsumsi, dan bukannya barang yang membahayakan kesehatan.
Ada juga keadaan dimana pasar gagal mengalokasikan sumber-sumber daya secara efektif yang dikenal dengan istilah kegagalan pasar (market failure). Bentuk dari kegagalan pasar adalah kekuasaan pasar (market power) yang bisa memunculkan monopoli, eksternalitas, barang publik yang menyebabkan adanya free rider (akan kita obrolkan pada kesempatan lain).dalam hal ini, pasar dianggap gagal dalam menyebarkan kemakmuran secara merata.
Pemerintah memang bisa meningkatkan kondisi perekonomian, tetapi bukan berarti pemerintah harus selalu melakukannya.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 20.52 0 komentar
Problem Adam Smith: Simpati VS Kepentingan Sendiri
Dalam karyanya yang terbit pada 1759, The Theory of Moral Sentiments, Adam Smith menuliskan bahwa “simpati” adalah kekuatan penggerak di balik masyarakat yang makmur dan dermawan. Dalam karya berikutnya, The Wealth of Nations, “kepentingan diri” menjadi motif primernya. Para filsuf Jerman menyebut kontradiksi ini sebagai Das Adam Smith Probem, tetapi Smith sendiri tidak melihat adanya konflik di antara keduanya. Dia memandang diantara kedua karyanya itu saling melengkapi, sebuah pandangan dunia yang sistematis tentang masyarakat liberal. Smith percaya bahwa setiap manusia memiliki keinginan dasar untuk diterima oleh orang lain. Untuk mendapatkan simpati ini, orang akan bertindak sedemikian rupa agar ia dihormati dan dihargai. Dalam kehidupan ekonomi, ini berarti kepentingan diri yang baik, dimana pembeli mapun penjual sama-sama mendapat keuntungan dalam transaksi. Lebih jauh, Smith berpendapat bahwa kemajuan ekonomi dan surplus kekayaan adalah prasyarat bagi simpati dan kedermawanan. Ringkasnya, Smith ingin mengintegrasikan ekonomi dengan perilaku moral.
Filsuf Skotlandia ini percaya bahwa manusia akan dimotivasi oleh baik itu kepentingan diri maupun kedermawanan. Tetapi dalam ekonomi pasar yang kompleks, dimana individu berada jauh dari keluarga dan sahabat terdekatnya, kepentingan diri akan semakin kuat. Menurut interpretasi Ronald Coase, ”keunggulan besar dari pasar adalah bahwa pasar mampu menggunakan kekuatan kepentingan diri untuk mengimbangi klemahan dan ketimpangan kebaikan, sehingga mereka yang tidak dikenal, tidak menarik dan tidak penting, akan terpenuhi keinginannya.”
Smith tidak menyetujui keserakahan yang tidak terkendali, tetapi dia mendukung kontrol diri. Dia percaya bahwa masyarakat komersial yang bebas akan melunakkan nafsu serakah dan mencegah munculnya rimba Hobbesian, sebuah tema yang diulas oleh Montesquieu dan Senior Nassau. Dia mengatakan bahwa perdagangan akan mendorongorang untuk belajar, bekerja keras dan mendisiplinkan diri, dan menunda kesenangan. Orang ”tak akan mau menipu dan mau memperbaiki kesa;lahan” agar tidak kehilangan konsumen.
Dikutip dari: Mark Skousen, ”The Making of Modern Economics: Te Lives and Ideas of the Great Thingkers”, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso.
Label: Economics
Diposting oleh Muhamad Robbyal W. di 20.47 0 komentar